Di tengah kemeriahan pesta demokrasi, ada pemandangan yang tak biasa. Dua kali calon Raja Kelayau, Raja Dirgantara, tak menghadiri pertemuan penting terkait pemilihan.
Ketidakhadiran ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan rakyat dan pengamat kerajaan.
Apakah ini bentuk kepercayaan diri yang berlebihan, atau justru keraguan yang disembunyikan di balik wajah-wajah penuh janji?
Rakyat Kelayau mengingat dengan jelas sejarah janji-janji yang tak kunjung ditepati oleh Raja Dirgantara di masa lalunya, dan ketidakhadirannya hanya memperkuat rasa skeptis.
Sementara itu, di dalam Istana, situasi tak kalah pelik. Para menteri dan pungawa yang selama ini mendukung Raja Dirgantara mulai pasang dua muka.
Mereka, yang dulunya loyal dan setia, kini mulai merasakan ketidakpastian.
Mereka khawatir, jika Raja Dirgantara gagal terpilih kembali, posisi dan kekuasaan mereka bisa terancam. Pengkhianatan kecil-kecilan mulai merayap di lorong-lorong istana.
Masing-masing berusaha menjaga posisi mereka dengan berpura-pura mendukung sang Raja, namun di balik layar, mereka siap menjalin aliansi baru dengan calon pemimpin yang dianggap lebih menjanjikan.
Kelayau, yang seharusnya menghadapi momen penting dalam memilih pemimpin baru, kini justru terperangkap dalam dinamika politik yang keruh.
Rakyat mulai jenuh dengan retorika kosong dan janji-janji masa lalu.
Mereka haus akan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan, bukan sekadar wajah lama yang berharap kekuasaan atas dasar kebiasaan.
Prahara di Negeri Kelayau bukan hanya tentang perebutan tahta, melainkan cerminan krisis moral dan kepercayaan yang melanda istana.
Akankah Raja Dirgantara berhasil mengembalikan kejayaannya, atau akankah rakyat Kelayau memilih jalan baru di bawah sosok pemimpin yang lebih bijak?
Pemilihan semakin dekat, tetapi ketidakpastian masih menyelimuti masa depan negeri ini.
Tak hanya para Menteri dan Pungawa Istana yang perlahan mulai mengalihkan pandangan mereka, para pengurus partai di parlemen Negeri Kelayau pun tampaknya ikut bermain dua kaki di belakang Raja Dirgantara.
Para elite yang dulunya lantang mendukung sang Raja kini menunjukkan sikap yang berbeda.
Dalam diam, mereka mulai membangun hubungan dengan kubu-kubu lain, bersiap-siap untuk menyelamatkan diri mereka sendiri jika keadaan berubah.
Raja Dirgantara sangat menyadari adanya pengkhianatan ini, namun ia tak mampu berbuat banyak. Di Negeri Kelayau, pengkhianatan telah lama menjadi bagian dari permainan politik kaum elit.
Loyalitas hanyalah topeng, sebuah alat tukar dalam dinamika kekuasaan yang berubah-ubah.
Sang Raja, meski memiliki kuasa, kini berdiri di atas pijakan yang rapuh, di antara menteri yang tak lagi setia dan partai-partai yang siap meninggalkannya demi keuntungan mereka sendiri.
Keadaan ini membuat Raja Dirgantara tak hanya harus bertarung melawan lawan politiknya di luar istana, tetapi juga menghadapi ancaman yang lebih dekat—dari orang-orang yang seharusnya berdiri di sisinya.
Pemilihan semakin mendekat, dan dengan semakin banyaknya pengkhianatan di sekitarnya, sang Raja harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin berjuang sendirian.(JONSIR)